Mikail Rasyad
Kawan... Kukatakan padamu tentang
apa kata orang tentangku. Aku cantik, pintar, kaya, banyak orang yang
menginginkan sepertiku, katanya. Perfect!
Begitu orang menggambarkan tentang diriku. Tapi ada satu pertanyaan yang perlu
mereka tanyakan. Apakah aku bahagia? Jawabannya
tidak sama sekali. Aku hanya terheran-heran dengan adikku. Tidak seperti
kakakku, Ika Rasyada. Dia selalu dapat mencetak prestasi di bidangnya dan
mengharumkan nama sekolah. Dia adalah vokalis grup band ternama di sekolah, dia
juga ketua OSIS! Populer, memang. Dia juga mendapat juara tiga besar di
kelasnya, walau baru sekali ini. Namun hal itu tidak memupuskan kebanggaan
keluargaku terhadapnya.
Begitupun aku. Kawan, perkenalkan
namaku Veronika Rasyada. Aku selalu menduduki juara umum setiap tahun. Aku
diperebutkan oleh seluruh guru mapel agar menjadi murid didik pada kelas
olimpiadenya. Alhasil aku mengikuti OSN Fisika yang mau tak mau kuiyakan saja.
Aku menjuarai hampir seluruh bidang. Hingga tulis-menulispun aku juara satunya.
Ehm... Ada satu yang menjadi kekuranganku, yaitu bidang fisik atau olahraga.
Penyakit bengek ini membuatku berlari lambat dan mudah pening ketika banyak
melompat.
Sekali lagi, kukatakan padamu
tentang adikku. Dia tak pernah sedih walau seluruh keluargaku merendahkannya.
Ayahku seorang pilot dan ibuku seorang dokter, maka yang sok mendidik kami bukan hanya mereka lagi, tapi keluarga besar Abu
Rasyad. Ketika dinasehati, dia hanya
diam, menelan ludah, dan mafhum betul atas nasehat keluarga besar kami. Dia
seorang pemain sepak bola ternama di sekolahnya, walau hanya menjadi pemain
cadangan. Prestasi? Dia tak pernah juara sepuluh besar, walau dia tekun belajar
setiap malam. Dia sebenarnya juga tak tampan. Tapi apa yang membuat wajahnya
memancarkan kebahagiaan? Yah... Kawan, seorang yang bahagia dan misterius itu
adalah adikku. Mikail Rasyad bin Prakasa Rasyad, namanya.
Sekarang dia tidak ada di rumah. Aku
yakin dia sedang menghindari kata “Selamat Ulang Tahun,” yang berakhir dengan
nasehat tua yang seperti kaset rusak yang diputar setiap hari. Apa itu? JADILAH
SEPERTI KAK IKA DAN KAK VERO!!! Malam itu juga kurajut penaku untuk dia yang
selalu jadi terbelakang.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga
angin malam ‘kan sampaikan. Tentang 29 April yang mulia ini. Kelumit kata untuk
adikku, yang selalu bahagia. Seorang plegmatis yang dewasanya luar biasa,
menurutku. Semoga Tuhan selalu memberimu kesabaran. Amin. “HAPPY BIRTHDAY,
BROTHER!.”
Dari
kakakmu, Veronika
Rasyada
Juni 2011
Ahh... Juara umum lagi, juara umum
lagi. Entah, aku bosan sekali. Hidupku serasa mulus-mulus saja. Aku suntuk dan
muak. Ragaku hidup dalam keramaian masa yang mendambakan sepertiku, namun
jiwaku berada dalam kesendirian ruang dan waktu. Tak ada orang yang mengerti
rasaku. Diluar, aku fine-fine saja.
Kemampuan dari ibu untuk tahan membedah pasien berjam-jam membuatku pandai
menyembunyikan rasaku untuk waktu terlama sekalipun.
1
September 2011
Kertas kaku dari sekolah itu hanya
kubuat kipas-kipas. Kemenangan atas OSN Fisika tingkat nasional itu tak juga
menunjukkanku makna bahagia. Beberapa detik kemudian, kudengar dering E-mail masuk
ke teleponku. Dari Reno?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Congratulation
for your achief! I really hope that you have
time just for a while to study Physic. Ehm... In the library, could you?
Thank’s, and forgive me before.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Belajar
Fisika? Bukankan dia ahlinya matematika?, pikirku kalut. Tanpa
pikir panjang lagi, segera kuganti bajuku dan bersiap menuju perpustakaan yang
buka untuk umum setiap sabtu sore.
Beberapa
menit setelah aku duduk dan mengeluarkan PR Fisikaku, sebuah insiden murahan
terjadi. Reno menyentuh tanganku dan menyatakan perasaan cintanya. Disertai
dengan suitan dan deheman keras dari belakang sana, kupikir ini sudah menjadi
makar busuknya. Lalu dengan kecepatan yang kumampu, kulepas tanganku dan
setengah berlari meninggalkan perpustakaan.
Apa
yang dia inginkan dari perempuan sepertiku. Ahh... Aku semakin tak paham dengan
jalan hidup orang-orang. Cinta? Apa itu cinta? Hidupku sebatas rel kereta api
saja. Patuh dan tunduk terhadap doktrin orang tua, “TIDAK BOLEH INI, TIDAK
BOLEH ITU.” Dan aku mau-maunya menurut saja.
2 Februari 2012
Kurebahkan
diriku diatas kasur setelah melaksanakan pekerjaan robotku. Hanya itu-itu saja
hidupku. Prestasi, harta, dan segala yang aku miliki hanyalah angin lalu
lalang. Alat perekam jantung yang tak menemukan detak yang dicarinya adalah
gambaran tepat hidupku. Tengkorak hidup, akulah dia. Puisi-puisi yang kubuat
semakin muram saja.
Kuamati
jarum jam yang magis itu. Nyawaku ada di dalamnya. Hingga jarum jam berada
tepat di angka dua belas, obat-obatan yang telah kuketahui benar kadar
keharamannya ini akan menggerogoti organ tubuhku. Aku tahu ini tindakan bodoh.
Tapi apa boleh buat, ini untuk mengeluarkanku dari jeruji statis hidupku.
Setelah ini aku akan menemukan makna kebahagiaan. TEPAT!!
2 menit kemudian
Reaksi
dari obat-obatan ini cepat sekali. Sakit yang tak terperikan dengan darah segar
keluar deras dari hidung dan mataku membuatku tertidur. Entah hanya tidur
sementara atau tidur selamanya. Tapi inilah perbedaan, sungguh membahagiakan!
Aku
terbangun setelah air mata adik membasahi tangan kananku. Ibuku, salah satu
dokter di rumah sakit megah ini meminta maaf di palingan wajahku. Baru
menyadari bahwa anak-anaknya telah tumbuh sendiri-sendiri tanpa kasih sayang
yang berarti dari orang tuanya. Rasakan
kau, ibu!, hardikku dalam hati.
Selang-selang
yang menggelayuti tubuhku membuatku sulit untuk bicara. Tapi isyarat tanganku
sudah cukup untuk menjelaskan bahwa aku hanya ingin ditemani adikku seorang.
Adik
menceritakan semua akibat dari perbuatanku. Aku manggut-manggut saja karena
inilah jalan yang harus aku terima. Adik menggenggam tanganku erat-erat,
menciumnya, dan meneteskan air mata yang lebih deras dari simpuhan sujud
malamnya.
“Kak,
katakan padaku apa yang membuatmu melakukan semua ini?,” tanyanya.
“Aku
ingin sepertimu, Dek!,” jawabku lemah.
“Kak,
kalau hidup ini boleh memilih, maka aku akan pilih jalan hidupmu. Siapa yang
tak mau membahagiakan orang tua, keluarga besar, sekolah, sepertimu dan Kak
Ika. Tapi apa boleh buat, jalan kita berbeda, Kak! Apakah aku harus terus
mengeluh dan menangis? Menyalahkan Tuhan karena tak adil pada jalan hidupku?
Tentu tidak ‘kan, Kak? Aku terus mencari aktifitas lain agar aku dapat mengerti
kehendak terindah ini.
Setiap
pulang sekolah, aku dan kawan-kawanku mengunjungi panti asuhan. Dimana kami
melihat ada orang lain yang tak seberuntung dengan kita. Aku bersyukur karena
masih punya orang tua, sekalipun setiap bertemu yang jarang sekali itu aku
dicaci-maki dan dipaksa untuk menjadi orang lain. Aku juga ke panti jompo,
dimana nasib seorang tua tersebut dapat menjadi gambaran masa tua kita,
sekalipun tidak berada di panti jompo. Aku juga mengunjungi tempat orang
miskin, dimana sesuap nasipun diperjuangkan mati-matian. Kami membantu mereka
dengan seluruh kemampuan yang kami miliki, Kak. Apakah bahagia itu yang kau
mau, Kak?,” tanyanya sambil mengusap air mataku.
Aku
hanya menganggukkan kepalaku. Disertai air mata yang terus mengalir dan denyut
nadiku semakin kencang saja. Sementara adik masih menangis di tangan kananku
yang mati rasa. Sejak menit itu, semangat hidupku mulai membara.
Kawan,
tahukah kamu karena siapa? Yah... Itu semua karena “Sang Motivator” hidupku.
Seorang yang selalu bersyukur dan bahagia itu adalah PAHLAWAN SEJATIKU. Seorang
plegmatis yang sabarnya luar biasa. Dialah adik tercintaku sendiri, MIKAIL
RASYAD!
Pengirim : Rifki Alfia Nuriska
SMA
Trensains Sragen
Posting Komentar