Hakekat Fitrah


Hakekat Fitrah
                Kerikan jangkrik terdengar dalam kejauhan, disusul kukukan burung hantu yang sedang mengintai mangsa. Dan lihatlah, bulan purnama tampak begitu elok ditemani kemilau bintang. Menakjubkan sekali melihatnya. Langit terlihat indah dan damai malam ini. Tapi, tidak dengan suasana hatiku.
                Namaku Fitriana Aisa. Umurku 15 tahun. Aku duduk di bangku kelas sepuluh di SMAN 2 Bulubanteng. Aku tumbuh seperti remaja kebanyakan. Tapi, ada satu hal yang membuatku berbeda. Malam ini, ketika semua murid sekolahku sedang menikmati pentas seni Girls Amazing Show di halaman tengah, aku hanya bisa termenung sedih dalam kesendirian. Malam ini, ketika semua murid sekolahku bisa tertawa lepas maupun bedecak kagum atas pertunjukan yang dihadirkan, aku lebih memilih lepas diri dari itu semua. Asalkan kalian tahu, akulah yang menjadi pusat perhatian mereka di Girls Amazing Show, bernyanyi solo di atas panggung denga disaksikan banyak penonton. Momen yang selalu kutunggu-tunggu dan aku sudah banyak berlatih untuk itu. Menyiapkan banyak hal agar tampil maksimal di acra akbar tahunan sekolahku.
                Tapi, guratan takdir punya sekenario lain ketika kabar duka itu datang. Cepat sekali kejadiannya. Sesaat sebelum pertunjukanku tiba, ketika aku siap tampil membanggakan walau dia tidak hadir malam ini, Pak Kunar lari menghampiriku denga wajah cemas.
                “Fitri, ayah kamu........”, nafas Pak Kunar masih tersengal.
                “Ayah saya kenapa pak?”, aku berusaha menenangkan.
                “Ayahmu meninggal akibat kecelakaan kontruksi bangunan.”
                Seketika tubuhku membeku, ini tak terduga sama sekali. Kalian tahu rasanya tiba-tiba mendenagar kabar bahwa orang yang paling kalian sayangi di dunia ini meninggal? Syaraf ototku serasa tak mau digerakkan. Aku tak percaya atas apa yang ku dengar. Aku langsung berlari menjauh menahan tangis. Bagaimana bisa? Sebagian hatiku menolak menerima kenyataan dan menganggap berita itu bohong. Tapi, Pak Kunar adalah guru yang paling jujur dan paling berwibawa yang pernah kukenal.
                Dan disinilah aku sekarang, duduk mendekap lutut di bangku taman sekolah sambil menangisi kenyataan. Sendirian, mengenang kapan terakhir kali mengobrol dengan ayah, kapan terakhir kali menghabiskan waktu bersama ayah. Masih terekam jelas dalam memoriku.
*********************
                Dua hari lalu, pagi hari, seperti biasa ayah selalu mengantarku ke sekolah jika sedang di rumah, libur pendek yang dia ambil. Ayahku adalah seorang teknik sipil. Dia sering pergi ke luar kota untuk menyelesaikan proyek-proyek besar yang dia kerjakan. Katanya, pekerjaannya itu beresiko, harus memperhatikan detail kontruksi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Entahlah, aku tak terlalu tahu tentang teknik sipil. Sedangkan ibuku sudah meninggal semenjak aku belum bisa mengingat apapun, ayahlah yang merawatku sejak kecil.
                Waktu menunjukan pukul enam, waktunya masuk ke mobil untuk berangakat sekolah kali ini jalanan nampak sepi. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Selau menyengangkan berangkat sekolah bersama ayah. Menghabiskan waktu dengan mengobrol dengannya selama perjalanan. Bahkan, sesekali kami bermain tebak-tebakkan.
                “Ayah beneran gak bisa datang ya?”, aku melipat muka, kecewa.
                “Gak bisa kak. Maaf ya, ada gedung baru yang harus dihandle di luar kota. Ayah nanti siang sudah berangkat. Emang Girls Amazing Show-nya gak bisa ditunda sampai ayah libur lagi ya?”, ayah nyengir.
                “yee. Main tunda-tunda, emang ayah PJ acaranya apa”, aku tertawa mendengar ayah asal bertanya. Tentu saja ayah sedang bercanda. Ayah akan pulang setelah 2 bulan lagi dalam jadwalnya. Sedangkan acaranya diadakan 2 hari lagi, tidak mungkin ditunda selama 2 bulan. Bisa kacau semua urusan.
                “Jangan lupa dijaga suaranya, kakak pasti bisa nyanyi dengan hebat di acara besok lusa. Ayah percaya sama kakak. Walau ayah gak nonton, harus tetep semangat. Ganbatte kuddasai!”, ayah mengacungkan tinjunya ke arahku.
                “Siap, pak komandan”, aku mengedipkan mata pada ayah sebagai balasannnya
******************
                Aku semakin terisak, megenang semua itu membuat hatiku kelu. Aku hanya ingin diberi kesempatan bertemu ayah agar dia bisa melihatku bernyanyi di panggung. Tapi untuk apa? Tak ada yang bisa mengembalika ayahku lagi. Aku yatim piatu.
                Terlihat pak kunar menghampiriku dan duduk di sebelahku. Aku langsung membalik badan membelakanginya, tak ingin telihat menangis.
                “Boleh bapak bicara sesuatu?”, beliau dengan lembut bertanya. Aku hanya diam, tidak menanggapi pertanyaan Pak Kunar.
                “Baiklah, bapak anggap boleh”, Pak Kunar memperbaiki posisi duduknya.
                “Fitri, berita kematian itu tak selamanya menyedihkan. Kesediahan seseorang sungguh boleh jadi hakekat kegembiraan terbesar baginya. Tapi hakekat itu, hanya untuk orang yang menerima kehidupan mereka dengan hati jernih. Agama kita melarang untuk terlalu sedih atas kematian seseorang, Fitri. Mungkin Allah sedang membimbingmu menjadi remaja sholihah lewat kematian ini agar kau lebih giat beribadah, sedekah dan  berdoa buat ayahmu di sana, waktunya untuk kembali pada fitrah Allah. Hey, bahkan namamu saja sudah melambangkan fitrah itu sendiri. Orang tuamu tak salah memberimu nama itu, bukankah nama itu doa?”, pak kunar bertanya sambil tersenyum menatapku.
                Aku tertegun. Pak kunar benar, ayah pasti tak ingin melihatku seperti ini. Segera ku hapus air mataku, kabut-kabut kesedihan perlahan mulai menghilang. Bukankah ayah pernah berkata, bahwa semua yang kita miliki di dunia adalah cobaan bagi kita? Baiklah, aku sudah siap menjadi Fitri yang taat pada-Mu yaa rabb. Siap menjadi Fitri yang berkomitmen dalam jalanmu, menjadi hamba idaman-Mu
                “Well, kelihatannya raut kesedihan di mukamu sudah hilang. Jadi, mari kita kembali ke halaman tengah. Kau tidak lupa kalau kau punya jadwal nyanyi solo kan?”, Pak Kunar sudah berdiri dari tempat duduknya. Ya, aku masih punya tanggung jawab. Aku tak mau merusak acara hanya karena tak bisa mengendalikan emosiku.(Hawaril XA)
The end

Beri Komentar

Lebih baru Lebih lama